Lulus, lalu diwisuda tidak serta merta menjadikan para mahasiswa ini berhenti mengikuti proses perkuliahan. Ya, karena mereka adalah mahasiswa dengan program fast track. Diantara ribuan wisudawan, terdapat 81 wisudawan jalur fast track pada Wisuda Program Sarjana dan Sarjana Terapan periode IV TA 2023/2024 lalu. Para wisudawan dengan jalur ini, harus melalui dua tahap jenjang perkuliahan sekaligus, sarjana lanjut megister, sehingga diantara irisan programnya, meskipun sudah lulus diwisuda sarjana, para lulusan ini tetap mengikuti perkuliahan untuk proses lanjutan pada program magister.
Adalah Muhammad Faris Al Rif’at. Wisudawan program studi Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian ini harus menjalani irisan masa kuliah dari sarjana ke magister sekaligus. ”Betul, mulai semester 7 di program sarjana, saat penyusunan skirpsi, saya juga harus menjalani kuliah reguler untuk program magister”, terang Faris. Faris yang saat itu baru mengikuti wisuda program sarjana menungkapkan kegembiraannya karena satu fase perjalanan pendidikannya telah terlalui.
Faris memulai program fast track saat masuk fase penelitian S1 selama 2 semester yaitu semester 7 dan 8. Bersamaan dengan itu, Faris mengambil 14 sks di semester 1 dan 16 sks di semester 2 pada program magister. Jadi, semester 7 saat sarjana, linear waktunya dengan semester 1 pada program magister. Sementara pada semester 8 program sarjana, linear waktunya dengan semester 2 magister.
Fast track merupakan program percepatan pembelajaran bagi mahasiswa yang memiliki kemampuan luar biasa. Program ini merupakan pendidikan khusus yang diselenggarakan oleh UGM berdasar Peraturan Rektor nomor 23 tahun 2024. Program fast track bisa diikuti untuk program magister atau magister terapan, juga program doktor atau doktor terapan.
Untuk program magister atau magister terapan, syaratnya harus sudah menempuh 6 semester atau belum yudisium pada jenjang sarjana. Sedangkan untuk program doktor atau doktor terapan, syaratnya minimal telah menempuh 2 semester dan belum yudisium pada saat di jenjang magister. Masing-masing jenjang program fast track menyaratkan ketentuan yang berbeda untuk persyaratan seleksinya yang meliputi IPK, kemampuan bahasa inggris maupun kemampuan potensi akademik.
Menurut Faris, kuliah program fast track sangat menarik karena seperti ada overlapping antara kegiatan penelitian skripsi S1 dengan kegiatan kuliah regular S2. Dan ini jadi tantangan tersendiri bagi para penerima beasiswa fast track. ”Tantangan terberat saat kuliah adalah menyesuaikan timeline waktu antara penelitian, kuliah program master, menjadi asisten peneliti dan praktikum, dan pembinaan asrama”, ungkap peraih IPK 3,93 pada wisuda program sarjana periode IV TA 2023/2024 Agustus lalu.
Namun Faris memiliki kiat khusus untuk mengatasi overlapping ini. Mempersiapkan bahan bacaan sebelum kelas melalui artikel, buku, ataupun jurnal, kemudian fokus saat ada di kelas serta perbanyak diskusi dengan dosen serta teman untuk saling berbagi informasi dan pengalaman adalah strategi yang ia terapkan untuk menjawab tantangan itu.
”Alhamdulillah, menurut saya tidak berat. Untuk pembagian waktunya saya membagi saja antara jadwal kuliah (kelas dan praktikum) S2 dengan penelitian S1 sepertihalnya ketika kelas s2 dapat jadwal pagi-siang, saya mengerjakan penelitian di sore atau sebaliknya, walau tidak jarang ketika weekend atau hari libur saya tetap harus ke kampus atau laboratorium untuk mengerjakan”, jelas Faris.
Faris memilih program studi S2 Ilmu Hama Tanaman karena program studi ini memberikan keilmuan yang ia butuhkan mengenai Ilmu Hama, terutama pada bidang pengendalian dan molekuler.”Hal menarik yang saya pelajari dari program studi ini yaitu saya bisa mempelajari salah satu faktor yang sangat merugikan petani ataupun industri pertanian dan mengetahui solusi terbaik yang dapat diberikan seperti halnya dokter namun dokter untuk tumbuhan”, ungkapnya.
Topik penelitian “lalat buah” untuk mengetahui kebiasaan atau biologi lalat dalam skala laboratorium menjadi fokus penelitian Faris. Menurutnya, saat ini lalat buah masih menjadi hama utama penyebab kerusakan dan menghambat ekspor pada buah salak. ”Salak ini kan sebenarnya salah satu komoditas unggulan di Provinsi DIY, jadi saya berharap dengan penelitian dasar di laboratorium dan penelitian skala lapangan ini dapat memberikan solusi permasalahan tersebut, sehingga dapat membantu petani khususnya petani buah salak”, ujarnya. Penelitiannya pada program magister ini memiliki kolerasi dengan topik penelitian sebelumnya pada saat program sarjana yaitu ”Pola Perilaku Serangan Lalat Buah pada Buah Salak atau Skala Lapangan”.
Stretegi Menghadapi Tantangan Manajemen Waktu pada Program Fast Track
Lain Faris, lain pula Shafira Khairunnisa Subchan, penerima beasiswa percepatan studi Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik. Shafira mendaftar program ini ketika semester 6 akhir, lalu pada semester 7 jenjang sarjana, ia membersamai mengambil semester 1 pada program magister. ”Singkatnya, fast track ini “hemat satu tahun” kalau lulus tepat waktu. Beasiswa ini menawarkan pemotongan biaya kuliah sebesar 50% dengan syarat harus menjadi asisten dosen”, terangnya.
Sadar diri lahir sebagai anak “medioker”, yang menurutnya tidak mudah mendapatkan beasiswa, memotivasi Shafira mengikuti seleksi beasiswa fast track. Menurut Shafira, fast track merupakan jalur beasiswa yang peluangnya paling tinggi. Untuk mencapai hal itu, ia berupaya menjaga prestasi akademik, aktif mencari informasi, dan belajar untuk persiapan tes TPA-TOEFL/IELTS.
Pada program fast track, wisudawan yang bercita-cita bekerja di bidang struktur ketekniksipilan ini memilih Magister Teknik Sipil (MTS) yang selaras dengan program sarjananya, yaitu Sarjana Teknik Sipil. Program MTS dipilihnya karena selaras dengan program studi yang diikuti pada program sarjana. Selain itu, sejak awal Shafira juga sudah memiliki minat pada pendalaman pengetahuan, inovasi, dan penelitian pada bidang ketekniksipilan.
”Saya tertarik mendalam ilmu ini karena nantinya ingin dapat berkontribusi lebih signifikan dalam proyek-proyek infrastruktur yang berdampak pada masyarakat, meningkatkan kualitas, dan efisiensi konstruksi”, terangnya. Ketertarikannya pada ilmu ketekniksipilan inilah yang menguatkan komitmennya untuk meneruskan penelitian berjudul ”Analisis Perilaku Struktur Jembatan Pedestrian Tipe Bowstring dari Material Kayu Ulin” secara mendalam pada program magister.
”Inti penelitian saya di skripsi waktu itu terkait perilaku struktur jembatan kayu dengan batasan belum memperhitungkan konfigurasi sambungan kayu. Sedangkan pada tesis, penelitian lebih dispesifikkan pada sambungan kayu ulin yang dilakukan dengan metode analitik, numerik, dan eksperimen di laboratorium”, jelasnya.
Topik kayu dipilihnya, selain karena arahan dosen pembimbing, juga karena secara pribadi ia tertarik, mengingat jarangnya topik ini sebagai materi skripsi. Selain itu juga, objek jembatan kayu mandomai memiliki struktur yang unik. Kebetulan jembatan ini sedang dalam proses direkonstruksi oleh IAI Kalteng, sehingga ia bersama rekan-rekannya membantu menjadi konsultan proyek jembatan tersebut.
Menurutnya, banyak hal menarik dari program studi yang sedang ia tempuh ini, seperti dari segi dosen yang profesional, kurikulum yang cukup komprehensif, banyak peluang karir “panggilan”, jaringan dengan akademik dan antarteman yang makin meluas, juga peluang menciptakan inovasi dan penelitian.
Dikatakan Shafira, kendala dan hambatan utama saat menjalani program fast track terletak pada strategi belajar, strategi mencapai target, dan pola mengatur waktu. ”Tidak bisa disamakan pola berpikir ketika S1dengan S2, tentu target dan kemandirian berpikirnya jauh berbeda”, tegas Shafira.
Tantangan terberat menurutnya adalah saat harus mempertahankan prestasi akademik. Banyak kendala yang dialami terutama dari segi waktu. ”Satu hari hanya 24 jam, tidak cukup untuk memenuhi tuntutan akademik dan nonakademik”, ujarnya. Perjuangan yang dilakukan pun juga harus sepadan. Meksipun secara keseluruhan, baginya terasa menantang, khususnya dalam hal mengatur waktu, pola tidur, belajar, mengerjakan tugas, olahraga dan lain-lain. ”Tidur hanya 4 – 5 jam sudah menjadi makanan sehari-hari. Karena itu, tantangan terberat adalah mengatur pola hidup agar tetap sehat, cerdas, dan ceria. Selain itu, juga dituntut untuk menjadi lebih dari rata-rata. Awalnya memang terasa berat, tapi lama-lama juga terbiasa”, jelasnya penuh semangat.
Pada semester 7 S1 atau semester 1 S2, tantangan membagi waktu sangat berat, antara menyelesaikan beban S1 yang masih harus dilakukan seperti mengambil mata kuliah wajib peminatan, kerja praktik, dan Perancangan Bangunan Teknik Sipil, serta menyicil tugas akhir dilakukan bersamaan dengan kuliah S2 sebanyak 8 sks.
Semester selanjutnya juga tidak kalah menantang. Tugas akhir (skripsi) S1 yang harus selesai pada semester 8 dibersamai dengan seminar proposal tesis yang wajib dilakukan pada semester 2 S2. ”Pada saat itu, seminar hasil tugas akhir dilaksanakan tanggal 2 Juli 2024, sedangkan seminar proposal tesis terlaksana pada tanggal 9 Juli 2024”, kenangnya.
Berbekal kesadaran diri dan upaya memahami serta mencintai diri sendiri, memantik motivasinya untuk memahami kebutuhan dan tuntutan belajar. Dari sinilah, Sharifa mulai menyesuaikan pola pikir dan memilih metode belajar yang tepat serta melakukan manajemen waktu yang efektif, termasuk juga memahami cara mengelola stres serta beban kerja. ”Paling enak untuk sehari-hari sih, bikin jadwal harian agar seluruh aktivitas terorganisasi dengan baik. Tak lupa, ada pula dukungan mental, sosial, dan moral dari orang tua, sahabat, serta orang-orang baik di sekitar saya”, terangnya.
Disiplin dan konsisten menjadi kunci utamanya dalam belajar. Tak heran, jika pada wisuda sarjananya, ia meraih prestasi IPK 3,88 . ”Sejujurnya saya cukup adaptif, mau belajar dengan metode seperti apapun, selama punya mood baik, pasti bisa, Insyaa Allah”’ akunya. Namun, bagi Shafira, metode belajar paling efektif untuknya tetaplah menulis, baik itu mencatat materi, reviu, atau mengerjakan soal. Selain itu, perlu juga berbagi. ”Berbagi ilmu juga penting, selain untuk reviu diri kita sendiri, juga bermanfaat bagi orang lain”, pungkasnya.
Penulis: B. Diah Listianingsih