Perasaan Nyi Raden Calvinca Naomi Poerawinata masih terasa tidak nyata. Empat tahun kerja keras dan jerih payahnya menempuh studi di dua universitas, UGM dan Maastricht University benar-benar akan segera berakhir, saat waktu menunggu wisuda di Belanda, 5 Desember 2024 mendatang terlampaui. Meskipun begitu, mahasiswa program internasional Fakultas Hukum ini mengaku sangat puas atas pencapaiannya setelah diwisuda di UGM pada Wisuda Program Sarjana dan Sarjana Terapan Periode I TA 2024/2025, 21 November 2024 lalu.
Vinca, begitu nama panggilannya, adalah lulusan program gelar ganda (double degree) dari Internasional Undergradute Program (IUP) Fakultas Hukum UGM dan European Law School, Maastricht University, Belanda. Saat itu, ia mendapat tawaran dari IUP Fakultas Hukum UGM, peluang mengambil gelar ganda. Ini berarti, jika lulus, ia akan mendapat dua gelar, Sarjana Hukum (S.H) dari UGM dan Legum Baccalaureus (LL.B) dari Maastricht University. Di UGM, Vinca mengambil konsentrasi Hukum Internasional, sedangkan di Maastricht University, ia terdaftar di European Law School, di mana ia mempelajari berbagai sistem hukum di Belanda, Perancis, Jerman, Inggris dan untuk beberapa kasus, di Amerika Serikat.
Dalam program gelar ganda yang diikutinya, Vinca menempuh pendidikan di UGM pada tahun pertama, yaitu semester 1 dan semester 2. Selanjutnya di semester 3 sampai semester 6, ia menempuh pendidikan di perguruan tinggi mitra tujuan program gelar ganda yang diikuti yaitu Maastricht University, Belanda. Pada semester 7 dan 8, ia kembali lagi untuk menempuh pendidikan di UGM. Lalu menyelesaikan skripsi dengan joint supervision dari UGM dan Maastricht University di tahun keempat.
“Ini adalah perasaan terbaikku, setelah tahun-tahun yang sangat sulit namun penuh manfaat. Kini saya dinyatakan lulus dan mendapatkan nilai tugas akhir untuk kedua penelitian hukum dengan judul yang sama tentang hak penyandang disabilitas pada Agustus lalu. Ini moment-moment saya merasa paling damai”, ungkap Vinca.
Vinca yang sebelumnya pernah menjadi sukarelawan untuk anak-anak berkebutuhan khusus dan berkesempatan bertemu dengan pemimpin perempuan pejuang hak disabilitas yang menulis undang-undang hukum disabilitas di Uni Eropa, yang akhirnya menjadi supervisornya, memotivasi dan mengisipirasinya untuk meneliti dan menulis skripsi dan tesisnya dengan judul Pendidikan Tinggi Inklusif bagi Penyandang Disabilitas: Evaluasi Implementasi Pasal 24(5) Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas untuk menempuh pendidikan di Indonesia – Studi Kasus di Universitas Gadjah Mada, memantik rasa ingin tahunya untuk melihat perbandingan fasilitas dan hak-hak yang diberikan kepada Penyandang Disabilitas di Indonesia, meskipun ia menyadari perbedaan taraf hidup antar Indonesia dan Eropa.
Ia memilih Maastricht University, Belanda sebagai perguruan tinggi tujuan program gelar ganda karena sangat tertarik dengan kompleksitas Uni Eropa. Vinca berminat mempelajari seluk-beluk serta cara kerja hukum di Eropa secara mendalam, yang kemudian mengubah persepsinya akan pemahaman bagaimana hukum Eropa dijalankan untuk benar-benar melindungi masyarakat yang tinggal di dalamnya dengan berbagai tahapan mekanisme pemeriksaan dan akuntabilitasnya. “Ini yang membuat seorang penggila hukum seperti saya sangat senang”, kelakarnya.
Program Double Degree ini pula yang selanjutnya mengantar Vinca mencecap berbagai kesempatan mengikuti kompetisi internasional mewakili sebuah LSM Belanda ke PBB dan juga terlibat dalam putaran regional pertama peradilan semu internasional. “ini pengalaman luar biasa yang saya ambil”, akunya.
Di Sekolah Hukum Eropa, perempuan yang bercita-cita berkarir di PBB ini belajar hukum menggunakan modul hukum publik dan privat. Total, ada 20 kelas dalam periode 2 tahun. “Saya mengambil mata kuliah pilihan tambahan serta mendaftar di Maastricht Summer School untuk mendapatkan kredit dan pengalaman tambahan”, terangnya. Setahun terakhir ia hanya perlu mengerjakan skripsi secara online. Sedangkan untuk supervisi dilakukan lewat zoom meeting dengan dosen pembimbingnya.
Diceritakan Vinca, kesempatan yang diperolehnya untuk menempuh studi gelar ganda di Masstricht University tidak lepas dari tantangan dan perjuangan. Ia masih ingat, saat itu dunia sedang dilanda pendemi covid-19. “Saya, orang terakhir yang diterima dalam program ini”, ceritanya. “Saya mengalami kebingungan dan ambiguitas mengenai cara dan jadwal pengajuan permohonan kuliah gelar ganda, sehingga terlambat hampir 3 bulan”, ungkapnya. Akibatnya, ia ditolak berkali-kali, meskipun pada akhirnya diterima setelah melalui proses komunikasi panjang. Belum lagi terkait pengurusan visa dan berbagai macam tes kesehatan, merupakan tantangan tersendiri buat Vinca mengingat saat itu ia tinggal di Brunai Darussalam, yang tidak mudah menemukan tempat untuk melakukan tes kesehatan. “Bersyukur, pada akhirnya semua berjalan dengan baik”, jelasnya.
Belum berhenti di situ, kedatangannya di Maastricht University pun sudah diawali dengan pengalaman menantang. “Tiba di Belanda saat puncak musim covid-19 dan belajar hidup sendiri untuk pertama kalinya dan bertransisi ke tempat baru yang belum pernah saya kunjungi, bukan hal mudah”, kenangnya. Saat itu terjadi lonjakan harga kebutuhan sehari-hari karena pandemi, memaksa Vinca harus bekerja paruh waktu di dua restoran. ”Ini jadi tantangan terbesar saya, saat harus melakukan aktivitas ekstrakurikuler (kompetisi dan asosiasi), bekerja, menjadi sukarelawan (saya melayani di gereja internasional) dan belajar”, terangnya. Dari tantangan hidup inilah, Vinca belajar manajemen waktu dan penetapan prioritas. Meskipun tidak mudah, ia yakin bisa melaluinya, karena dari sana, Ia belajar tentang dunia dan perannya. Ia menyebutnya ini sebagai fase grafik pertumbuhan berkelanjutan yang meningkat dalam kehidupannya.
Saat ditanya kunci sukses bisa lulus dengan IPK 3,78, Vinca menjelaskan cara belajarnya yang lebih mudah dilakukan dengan metode menjelaskan apa yang telah dipelajarinya kepada orang lain. “Saya yakin dengan cara ini, saya dapat mengetahui saya menguasai apa yang sedang saya pelajari”, terangnya. Ia juga aktif melontarkan berbagai pertanyaan untuk hal-hal yang tidak diketahuinya. Ia belajar bahwa tidak ada yang namanya ‘pertanyaan konyol”, karenanya ia berterima kasih kepada para profesor, guru yang penuh semangat memuaskan keingintahuannya pada setiap mata pelajaran yang ia pelajari.
Gaya belajar di kedua universitas membuat Vinca semakin semangat menjalani studi gelar gandanya. Di University of Maastricht, ia diajar menggunakan metode pengajaran ala Socrates, di mana mahasiswa harus menjawab berbagai pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. “Kami menyebutnya metode PBL (Problem Based Learning), Pembelajaran Berbasis Masalah”, terangnya. Menurut Vinca meskipun metode ini di rasa sulit, namun selama berbulan-bulan, justru metode ini melatihnya berpikir kritis dan mendorong kemandirian dalam belajar. Ia mencontohkan, “Sebagai ilustrasi, kami mempunyai hampir delapan puluh hingga seratus halaman untuk dibaca sebelum setiap kelas, dan kami harus menyiapkan jawaban untuk studi kasus kami untuk didiskusikan secara kolektif di kelas”, jelasnya penuh semangat.
Dua tahun di Maastricht University, rutinitasnya selalu diawali dengan bangun pagi, menyiapkan makan siang dan pergi ke kampus bersepeda. Selepas kelas, ia banyak menghabiskan waktu di fakultas untuk belajar atau perpustakaan untuk membaca. Sesekali, ia pergi ke taman belakang kampus untuk berjalan-jalan sebelum berangkat menjadi sukarelawan atau bekerja. ”Saat di UGM, saya senang pergi ke Taman Kearifan (Wisdom Park UGM) dan jalan-jalan, lalu bersama teman-teman jalan kaki menuju kelas, makan siang, lalu berlanjut kerja di kafe dan tetap menjadi sukarelawan di akhir pekan”, jelas Vinca dengan mata berbinar.
Penulis: B. Diah Listianingsih