Akhir-akhir ini, kesehatan mental di kalangan dunia pendidikan memiliki tantangan serius. Beberapa kasus bunuh diri menimpa mahasiswa di beberapa perguruan tinggi, seperti di Surabaya, Jakarta, bahkan Yogyakarta (CNN, 2004). Dipaparkan Direktur Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, dr. Imran Pambudi, M.P.H dalam Seminar Nasional memperingati World Mental Health Day 2024 menyatakan Indonesia menempati urutan ketiga (29%) dari 21 negara dengan persentase populasi usia 15 – 54 tahun yang sering mengalami depresi. Bahkan, lebih dari sepertiganya (34%) dari seluruh remaja di Indonesisa, usia 10 – 17 tahun mengalami masalah kesehatan jiwa. Dalam 12 bulan terakhir, 4,4% diantaranya pernah menyakiti diri, lalu sekitar 1,4% memiliki pikiran bunuh diri, sedangkan sebanyak 0,2% remaja telah melakukan percobaan bunuh diri. Publikasi Badan Litbangkes mencatat setiap harinya ada 5 orang melakukan bunuh diri (2016). Sebanyak 47,7% korban bunuh diri berada di usia remaja dan produktif, usia 10 – 39 tahun.
Tak pelak dengan dinamika kehidupan akademik yang semakin menuntut para mahasiswa mendapatkan pencapaian akademik juga menjadi tantangan tersendiri, dimana depresi dan gangguan kecemasan menjadi masalah psikologi tertinggi yang dihadapi mahasiswa, yang perlu mendapatkan perhatian serius. Disebutkan Direktur Pelayanan Medis dan Keperawatan RSA UGM, dr. Ade Febrina Lestari, M.Sc., Sp.A(K) dalam presentasinya di Seminar Nasional dalam rangka World Mental Heatlh Day 2024, kasus kecemasan dan kesehatan mental pelajar dan mahasiswa meningkat 63,6%. Kondisi menyebabkan rentannya para pelajar dan mahasiswa ini menghadapi pembelajaran luring, maupun pratikum. Bahkan di antara mereka tidak siap bersosialisasi secara langsung antar sesama mahasiswa dan dosen, yang bisa berujung pada masalah kesehatan mental, bunuh diri. Mahasiswa seringkali terjebak dalam kesibukan perkuliahan, tekanan akademik, dan tuntutan untuk berprestasi, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan mental. Demikian pula dosen dan tenaga kependidikan, yang sering kali harus mengikuti irama tuntutan akademik tersebut, yang tak jarang terseok-seok sehingga berpengaruh pada kesehatan mental.
Universitas Gadjah Mada (UGM) telah menyaksikan berbagai isu kesehatan mental tersebut dan mengambil sikap, dukungan terhadap kesehatan mental civitas akademika melalui Health Promotion Unit (HPU) UGM. Wakil Rektor Pendidikan dan Pengajaran menegaskan upaya dukungan tersebut, bahkan di lingkup pendidikan dan pengajaran. Disampaikan Prof. Dr. Wening Udasmoro, S.S., M.Hum., DEA., dari sekian banyak upaya dukungan terhadap kesehatan mental civitas akademika, melalui Direktorat Pendidikan dan Pengajaran, UGM menginisiasi gerakan berkesenian di ruang terbuka lewat kegiatan bertajuk “Senja Gurau”. “Kami bekerja sama dengan pengiat seni. Jadi program ini dirancang untuk menjawab permasalahan kesehatan mental di kalangan mahasiswa, dosen, juga tenaga kependidikan dengan menyediakan platform yang ekspresif, kolaboratif, dan interaktif berupa hiburan musik dan obrolan”, terang Prof. Wening.
Pengagas Senja Gurau sekaligus seniman, Anang Batas mengungkapkan Senja Gurau menghadirkan beberapa penampil seperti band musik dan obrolan interaktif. Selain itu, Senja Gurau juga memfasilitasi para civitas akademika yang memiliki bakat dan kemampuan seni untuk berekspresi dan tampil melalui media ini. “Setiap sesi dirancang untuk memfasilitasi kolaborasi dan silaturahmi lintas generasi, serta memberikan ruang bagi peserta untuk berbagi keresahan hidup dan menemukan keseimbangan emosional” terangnya.
Senja Gurau dilaksanakan di empat klaster di UGM, yaitu klaster saintek (Fakultas Teknik, Fakultas MIPA, Fakultas Geografi, Fakultas Biologi, dan Sekolah Vokasi), klaster medika (Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi, dan Fakultas Farmasi), klaster soshum (Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Ekonomi Bisnis, Fakultas Filsafat, Fakultas Sosial Politik, Fakultas Hukum, dan Fakultas Psikologi), dan klaster agro (Fakultas Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Fakultas Kehutanan, Fakultas Kedokteran Hewan, dan Fakultas Peternakan). “Kegiatan ini sudah berlangsung sejak September 2024 lalu”, ungkap Anang. Penampilan perdana Senja Gurau ditujukan untuk civitas akademika di klaster Sosial Humaniora bertempat di Fakultas Ilmu Budaya. Selanjutnya, penampilan kedua ditujukan untuk klaster Agro. Acaranya bertempat di Fakultas Kehutanan. Ke depan, menyusul klaster-klaster yang lain.
Sebagai gerakan kesenian di ruang terbuka, Senja Gurau bertujuan untuk menjadi jembatan pemersatu lintas generasi antara mahasiswa, alumni, dan civitas akademika UGM. Kegiatan ini bermanfaat untuk menjadi Wadah Ekspresi Seni yang memberikan kesempatan bagi peserta dan penampil untuk menunjukkan kemampuan mereka dan menyalurkan ekspresi mereka melalui penampilan musik dan seni lainnya. Senja Gurau juga bermanfaat meningkatkan kreativitas melalui rangkaian penampilan dan kegiatan interaktif, peserta diajak untuk memantik kreativitas mereka. Dan yang penting dan sesuai tujuan utama, Senja Gurau bermanfaat sebagai Stress Release melalui obrolan interaktif dan penampilan kesenian menjadi tempat untuk melepaskan stres dan beban pikiran, membantu peserta menemukan keseimbangan emosional.
Senja Gurau bukan hanya sebuah kegiatan kesenian, tetapi juga langkah menuju penguatan komunitas akademik. Dengan semangat kebersamaan dan kolaborasi, diharapkan setiap peserta dapat merasakan manfaat dari momen ini, melepaskan penat, dan membangun jaringan yang lebih solid. Harapannya, kegiatan ini dapat memberikan dampak positif dalam kehidupan akademik maupun kehidupan personal para mahasiswa, dosen maupun tenaga kependidikan, sehingga kesehatan mental segenap civitas bisa tetap terjaga.
Penulis: B. Diah Listianingsih