Apa jadinya jika lagu tradisional Korea, arirang, dipadukan dengan gamelan jawa? Kolaborasi unik inilah yang memunculkan gagasan bagi Chung Ji Tae, lulusan doktor asal Seoul, Korea Selatan dengan topik penelitiannya ”Gamelan Arirang” yang menghantarkannya sebagai wisudawan terbaik dengan IPK 3,84, bersama 15 wisudawan asing lainnya pada Wisuda Program Pascasarjana UGM periode I TA 2023/2024 waktu lalu (25-26/10).
Ji Tae sudah mencintai musik sejak kecil. Sejak itu pula, ia sudah belajar musik tradisional Korea. Saat pertama kali menginjakan kaki di Indonesia, tahun 2011, ia terpesona dengan suara gamelan yang didengarnya dari kanal youtube. ”Saya merasa suaranya sangat eksotik”, akunya.
Pemain profesional alat musik Korea ”daegeum” dan ”sogeum” ini mengaku, dulu ia hanya fokus pada estetika seni. Tetapi dalam perjalanannya, Chung Ji Tae merasa bosan, lalu tertantang untuk mempelajari struktur seni, wacana seni, dan ideologi seni. Tantangan inilah yang menghantarnya memilih universitas yang memiliki jurusan yang cocok dengan minatnya, yaitu program studi Kajian Budaya dan Media di UGM.
Motivasinya membuat pertunjukan Gamelan Arirang dalam penelitiannya yang berjudul ”Poetik dan Politik Pertunjukan Gamelan Arirang: Penelitian Teknologi Diri” muncul dari kritik terhadap praktik pertukaran budaya oleh seniman Korea yang selama ini masih bersifat unilateral. Kritik ini memantik inspirasinya untuk memperlihatkan harmonisasi antara Korea dan Indonesia melalui kolaborasi musik tradisional yang bersifat bilateral.
Pertunjukan pertama yang digelarnya adalah “Gamelan Arirang: Mediasi Interkultural Seni Budaya Indonesia-Korea” pada tahun 2017, yang diselenggarakan oleh grup projek musik kolaborasi Korea dan Indonesia “Gamelan Arirang” di Tembi Rumah Budaya pada 26 November 2017 silam. Pertunjukan inilah yang selanjutnya menjadi cikal bakal dari penelitiannya yang menghantar Chung Ji Tae mendapat gelar Doktor Program Studi Kajian Budaya dan Media UGM.
Ji Tae menuturkan, tujuan pertunjukan ini adalah untuk memperlihatkan harmonisasi antara Korea dan Indonesia, serta memperkenalkan musik tradisional Korea kepada masyarakat Yogyakarta, sehingga segala elemen-elemen pendukung pertunjukkan dikemas untuk merepresentasikan makna dan tujuan pertunjukan dalam wujud teks dan tanda, termasuk poster maupun media penyebar lainnya.
”Saya mengemas judul pertunjukan “Gamelan Arirang” sebagai bentuk representatif musik tradisional Korea dan Indonesia yaitu gamelan dan arirang”, terang Doktor yang menghabiskan waktu 5 tahun untuk disertasinya ini. Istilah gamelan sebagai petanda dan penanda (dalam semiotika) merupakan set ansembel musik perunggu dari Jawa dan Bali. Dengan kata lain, kata gamelan sebagai simbol menggambarkan bahwa pertunjukan ini berkaitan dengan musik tradisional Indonesia, karena gamelan adalah instrumen paling populer, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Kemudian, arirang adalah lagu simbolik dan salah satu lagu tradisional paling populer pada musik tradisional Korea.
”Istilah gamelan berlawanan dengan Arirang dari Korea. Perbedaan kedua istilah ini, secara otomatis membawa klasifikasi Indonesia dan Korea dalam konsep kebangsaan, sehingga gamelan mewakili musik tradisional Indonesia dan Arirang mewakili musik tradisional Korea, yang pada akhirnya, penggabungan dua tanda ini merupakan kolaborasi musik tradisional Indonesia dan Korea”, terangnya.
Dalam disertasinya, Ji Tae menambahkan sub judul “Mediasi Interkultural Seni Budaya Indonesia-Korea” sebagai kajian penelitian yang menjelaskan bahwa konsep pertunjukan ini juga bermakna sebagai bentuk mediasi. Mediasi di sini memiliki arti bahwa pertunjukan sebagai proses komunikasi yang ditujukan untuk membantu dua orang atau kelompok yang berkonflik untuk mencapai kesepakatan atau pemecahan suatu masalah. Namun, makna ini berubah menjadi mediasi budaya dalam bidang seni yang artinya menghubungkan antara kesenian dan masyarakat. Dari narasinya, judul pertunjukan Gamelan Arirang secara simbolik memperlihatkan karakteristik pertunjukan ini lebih cenderung bilateral daripada unilateral.
Selama berkarya di Indonesia, musisi lulusan National High School of Traditional Korean Arts dan The Korean Traditional Music Program, Suwon University ini kerap menyabet banyak penghargaan di bidang musik dan mengelar banyak pertunjukan solo musik sejak masa mudanya dan sudah banyak melakukan kolaborasi musik Indonesia – Korea, seperti Jing Gong di Bali dan Gamelan Arirang di Yogyakarta, termasuk menggawangi sebagai direktur berbagai pertunjukan musik di Indonesia seperti Bali Chingudel (2013), Salmunori Jinggong (2015), KORNIA Art Company (2015), Salmunori Ciraken (2016), Gamelan Arirang Surakarta (2016), dan Gamelan Arirang Yogyakarta (2017), serta Festival Gugak Indonesia (2021). Ia juga dikenal sebagai musisi yang banyak menghadirkan pertukaran musik antar budaya di ranah akademik.
Bagi Ji Tae, masa studi di UGM merupakan pengalaman yang luar biasa positif. Tantangan kendala bahasa tidak menjadi penghalang untuk lulus doktor dengan predikat terbaik. Dukungan para dosen dan promotor juga sangat membantunya dalam menyelesaikan studi di UGM tepat waktu. Ia mengaku sebagai mahasiswa asing, keberadaan kantor imigrasi di kampus membuatnya nyaman dan tenang karena banyak membantu untuk urusan keimigrasian.
Penulis: B. Diah Listianingsih